Di Toraja Orang Meninggal Tak Langsung Dikubur, Si Mayat Tinggal di Rumah Diajak Bicara dan Makan

Tahapan Penguburan mayat di Toraja, Sulawesi tidak hanya menarik turis lokal, tetapi juga luar negeri. Penduduk di Toraja memperlakukan anggota keluarganya yang sudah meninggal seperti saat masih hidup.
Seperti yang dilakukan Elisabeth Rante kepada suaminya, Petrus Sampe yang telah meninggal sekitar dua minggu yang lalu.
Sang Istri mengajaknya berbicara bahkan memberinya makan seperti saat masih hidup yaitu empat kali sehari, yakni pagi, siang, malam, serta membuatkan segelas teh pada sore hari. Saat ada tamu yang datang, Elisabeth juga memberi tahu sang suami yang terbujur kaku, jika ada tamu yang menjenguk.
“Bangun Papa, sudah waktunya untuk makan malam,” kata Elisabeth pada suaminya.
Petrus termasuk orang yang sejahtera dan dihormati di tempatnya tinggal, di pinggiran kota Rantepao. Sebelumnya, ia bekerja di biro pernikahan kota. Ia dibaringkan di tempat tidur kayu dan memakai selimut merah motif. Menurut Elisabeth, tubuh suaminya telah dirawat dengan formalin sehingga tidak akan membusuk.
Mereka terus mengajak Petrus berbicara karena mencintai dan menghormatinya. Elisabeth dan keluarganya meyakini, jiwa suaminya tetap di rumah meskipun sudah meninggal dunia.
Petrus dimakamkan empat bulan kemudian, setelah dilakukan berbagai upacara.
Sebagaimana Tribun Jogja kutip dari National Geographic, Kamis (5/4/2016), pemakaman di Toraja sering ditunda selama berbulan-bulan dan bahkan sampai beberapa tahun untuk mengumpulkan kerabat.
Mereka akan mengadakan upacara pemakaman megah dengan iring-iringan ratusan sepeda motor atau mobil.
Kematian seolah menjadi pusat kehidupan di Toraja. Menurut mereka, kematian tidak memutuskan sebuah hubungan, tetapi hanya bentuk lain dari koneksi.
Segala sesuatu tentang pemakaman adalah hirarkis dan memperkuat status keluarga yang ditinggalkan. Sehingga tak mengherankan bila upacara pemakaman di daerah itu menelan banyak biaya.
Daniel Rantetasak (52), warga yang telah menghadiri lebih dari 100 pemakaman menuturkan, dalam sebuah upacara besar, minimal ada 24 kerbau yang dikorbankan dan bahkan mencapai ratusan. Padahal rata-rata harga kerbau per ekor sebesar Rp 20 juta.
Bila dikalikan 20 ekor saja, maka biaya yang dibutuhkan untuk kerbau mencapai Rp 400 juta. Belum lagi biaya untuk menjamu tamu dan sebagainya karena orang akan minum dan bermain pada upacara pemakaman.
Bila seorang saudara sudah memberikan hadiah, maka yang lainnya harus memberikan yang lebih besar. Pembawa acara akan mengumumkan nama-nama pemberi hadiah beserta apa yang diberikan.
Tak hanya sampai di situ penghormatan terhadap orang yang telah meninggal dunia dilakukan.
Beberapa tahun setelah pemakaman dilakukan, keluarga akan mengadakan ‘pemakaman kedua’, yakni merapikan, membawa makanan dan rokok untuk almarhum, serta mengeluarkan jenazah dari tempat peristirahatannya untuk dipakaikan busana baru yang lebih bagus.
Bila kodisi jenazah masih bagus, ini menjadi pertanda baik bagi keluarga yang ditinggalkan, karena dapat meraih kesuksesan dalam hidup.
Di antara sekian banyak penduduk Toraja, Petrus Kambuno disebut-sebut sebagai satu-satunya orang yang mengetahui asal muasal kepercayaan itu. Ia seorang lelaki berusia 90 tahun dari kota Panggala yang giginya hampir ompong.
Ia mengisahkan, Toraja merupakan tempat di mana Tuhan menciptakan lelaki dari surga dan wanita dari bumi. Masih menurut Kambuno, Tuhan memerintahkan kita untuk menyenangkan orang agar meringankan kesedihan kita, termasuk saat keluarga tercinta meninggal dunia.
“Ayah saya (almarhum, red) di sini, tetapi saya di sini. Jadi dia tidak benar-benar mati. Saya memiliki anak perempuan, berarti ibu saya (almarhum) telah ditukar dengan anak saya. Ayah telah ditukar saya,” urai Kambuno. (sumber : tribunjogja.com)

Postingan populer dari blog ini

Ini Motif Pemerkosaan dan Pembunuhan Eno

MISTERI MAKAM NIKE ARDILLA

'Darah Masih Mengalir Dari Jenazah Anak-Anak Tahfiz Ketika Dimandikan.'